Menguak Sejarah Di Pulau Belitung (Belitong / Biliton)
Abad ke 7, Belitung masih belum ditandai adanya kekuasaan dari kerajaan mana pun. Kerajaan Sriwijaya pada masa itu hanya menanamkan kekuasaannya di Pulau Bangka dengan menancapkan sebuah Prasasti Kota Kapur, di pantai Bangka barat. Prasasti itu merupakan prasasti persumpahan hanya untuk menundukkan Bangka.
Tahun 899, nama “Belitung� di kenal erat sekali dengan nama raja Mataram kuno, Maharaja Rakai Watukara Dyah Balitung dari dinasti sanjaya yang berkuasa di Jawa Tengah dan Timur antara tahun 899 hingga 910. Nama Dyah Balitung terpahat dalam 14 prasasti Jawa Kuno pada batu dan tembaga.
Tahun 1293, Majapahit menguasai Bangka dan Belitung maka nama Belitung tertulis dalam Syair Nagara Kartagama tahun 1365, ditulis oleh Mpu Prapanca. Pada tahun 1413 kedatangan Laksamana Cheng Ho dari China menyebutkan Belitung dalam catatan perjalanannya. Tahun 1436, Fei Hsin ahli sejarah China juga mencatat tentang Belitung.
Pada masa Majapahit, Belitung dipimpin oleh seorang panglima kerajaan yang disebut Rangga Yuda oleh penduduk disebut Rangga Uda atau Ronggo Udo berkuasa di Badau. Raja ini memerintah sampai beberapa generasi dan tiap generasi rajanya tetap saja bergelar dengan sebutan Rangga Uda atau Ronggo Udo sampai turunan ke tiga atau raja terakhir tak memiliki keturunan laki-laki sebagai pewaris. Pada masa ini penduduknya masih memeluk Hindu dan menyembah berhala. Nampaknya riwayat “raja berekor� yang sekarang jadi legenda hidup di zaman ini.
Masa pemerintahan Rangga Yuda atau Ronggo Udo, dikenal ada empat wilayah kekuasaan antara lain, wilayah Badau disebut Tanah Yuda atau Singa Yuda yang berarti negeri panglima atau tempat pemerintahan raja, wilayah Buding disebut Istana Yuda yang berarti tempat pesanggrahan raja, wilayah Sijuk disebut Wangsa Yuda atau Krama Yuda yang berarti tempat keluarga serta abdi raja. dan terakhir adalah Sura Yuda yang berarti tempat suci raja atau daerah yang dikeramatkan.
Tahun 1520, mundurnya kerajaan Majapahit yang seiring dengan masuknya Islam di Jawa, Belitung pun kedatangan seorang ulama dari Gresik, yaitu Datuk Mayang Gresik, menandai masuknya Agama Islam pertama di Belitung, beliau masuk dari sungai Brang dan berdiam di Pelulusan kemudian berhasil menarik banyak pengikut hingga beliau mengusai tahta kerajaan Badau dari tangan raja Ronggo Udo yang terakhir. Setelah Datuk Mayang Gresik menduduki tahta, beliau juga diberi gelar Ronggo Udo, namun karena Beliau Islam maka disebut Kiai Ronggo Udo atau Ki Ronggo Udo. Setelah menguasai Badau beliau tetap berkedudukan di Pelulusan.
Kepercayaan dan agama penduduk terpecah menjadi dua, yang beragama Islam menjadi kukuh di Pelulusan sedangkan sebagian pemeluk Hindu tetap bertahan di Badau dan sekitarnya juga di tiga wilayah Yuda lainnya.
Tahun 1590-an, Ki Ronggo Udo atau Datuk Mayang Gresik bersama pengikutnya yang sudah Islam, memindahkan pusat pemerintahan ke hulu tepi sungai Balok atau wilayah Dendang dengan alasan lebih memudahkan pelayaran ke Jawa karena teluk Balok menghadap langsung ke laut Jawa. Perpindahan pusat pemerintahan ini memunculkan ketidak-senangan dari penduduk lama yang tetap mau bertahan di Badau terhadap penduduk yang ikut dengan raja mereka hingga muncul “Persumpahan Perenggu� dan sumpah itu mengutuk pernikahan antara turunan orang Badau dengan orang Dendang yang menjadi pengikut Ki RonggoUdo atau Datuk Mayang Gresik. Kepercayaan terhadap sumpah itu berlangsung hingga beberapa abad.
Sekitar tahun 1600, masuklah seorang bangsawan dari Mataram, Kiai Masud atau Kiahi Gegedeh Yakob alias Ki Gede Yakob. Ki Gede Yakob adalah putra Pangeran Kaap seorang mangkub atau bendahara. Ki Gede Yakob juga adalah ponakan Ki Gede Pamanahan. Sebagai seorang ulama Ki Gede Yakob diterima baik oleh raja Balok Ki Ronggo Udo atau Datuk Mayang Gresik karena misi dari ulama Gresik ini belumlah maksimal mengIslamkan penduduk Belitung apalagi praktek perdukunan dan mistik masih begitu kental merasuki penduduknya.
Ki Ronggo Udo atau Datuk Mayang Gresik tak memiliki putra mahkota hingga ketika putri tunggalnya Nyi Ayu Kusuma menikah dengan Ki Gede Yakob Tahta kerajaan Balok diserahkan Ki Ronggo Udo kepada Ki Gede Yakob. Penyerahan kekuasaan ini bukan semata karena Ki Ronggo Udo tidak memiliki putra mahkota tapi Ki Gede Yakob adalah putra keluarga Negara Mataram yang hampir menguasai seluruh pulau Jawa kecuali Banten, Cirebon, dan Batavia.
Tahun 1618-1661, Depati Cakraninggrat I Ki Gede Yakob. Penyerahan kekuasaan dari Ki Ronggo Udo kepada mantunya Ki Gede Yakob lagi-lagi menimbulkan ketidakpuasan dari empat daerah kecil yang masih dikuasai oleh turunan keluarga Rangga Yuda atau sisa dari kekuasaan Majapahit yang dulu berkuasa di Badau, kini masih menguasai tiga wilayah lainnya yaitu Buding, Sijuk, dan Belantu. Belantu sendiri diam-diam sudah mengirimkan upeti takluk ke Palembang tidak ke Balok.
Setelah naik tahta tahun 1618, Ki Gede Yakob meminta restu serta perlindungan kepada Cakrakusuma Agung atau Sultan agung di Mataram atas kekuasaannya di Balok. Tapi oleh Sultan menganjurkan untuk segera minta pengakuan serta perlindungan pada raja Palembang karena Palembang masih dibawahi Mataram ( Palembang dirongrong oleh Banten, sementara Banten dibayangi oleh Mataram. Tunduknya Palembang pada Mataram hingga tahun 1677 dan Sultan Palembang masih mengirim 10 armada kapal untuk membantu Mataram dalam pemberontakan Trunojoyo)
Perintah Sultan Mataram untuk minta perlindungan raja Palembang dipenuhi oleh Ki Gede Yakob kemudian oleh mertuanya yaitu Ki Ronggo Udo mengutus seorang kepercayaannya yang berasal dari Badau. Utusan ini dikhususkan guna meminta pengakuan dan perlindungan Palembang atas kekuasaan seorang putra Mataram. Konon, utusan ini hanya seorang diri dan menyelesaikan tugasnya hanya beberapa hari saja. Dan utusan itu menjadi terkenal hingga penduduk melekatkan sebuah senandung yang dikenal sampai kini “Unggang-Unggit Perau Badau, Sape Kecit Debawak Ngayau� dengan demikian seluruh sisa dari kekuasaan Majapahit yang tersisa di Belitung takluk kepada raja Balok keluarga Mataram Islam ini.
Tahun 1661 Ki Gede Yakob menguasai seluruh Belitung atas restu Mataram dan memerintah Kerajaan Balok dengan pangkat depati dan bergelar Cakraninggrat dan keturunannya bergelar Kiahi Agus atau Ki Agus untuk laki-laki, dan Nyi Ayu atau Nyayu untuk turunan perempuan.
Pada masa ini sudah dikenal adanya rumah balai atau rumah adat yang disebut dengan Ruma Gede. Balai atau rumah adat ini didirikan karena untuk mengikat penduduk yang terpisah dari empat wilayah serta beragam etnis yang sudah bermukim di Belitung. Hukum Adat mulai dilakukan dengan tegas di masa ini, baik perdata atau pidana; misal jika ada yang membunuh maka si pembunuh harus dihukum gantung, jika ada yang tak sanggup membayar hutang maka harus menjadi budak dari piutang hingga hutangnya lunas, jika mengambil istri orang hukumannya dibunuh di gelanggang umum, jika laki-laki dan perempuan bermuat mesum atau berzina maka hukumannya dibuang ke laut, dan lain sebagainya.
Pada masa Cakraningrat I seorang ulama Islam, Syech Abdul Jabar Syamsudin, dari Pasai, menyiarkan agama Islam di Balok dan memperkenalkan awal kesenian hadra atau rudat. Makam beliau berdekatan dengan makam Ki Gede Yakob di Balok Lama.
Tahun 1661-1696, Depati Cakraninggrat II atau Ki Agus Abdullah atau KA Mending alias Ki Mending. Beliau memindahkan pusat pemerintahan ke Tebing Tinggi atau Balok Baru. Tak diketemukan alasan mengapa beliau memindahkan pusat pemerintahannya Pada Manukrip yang ditulis oleh KA Abdul Hamid tahun 1934; Raja Balok ini mengendalikan pemerintahannya dari tempat pertapaannya. Namun Beliau sesungguhnya tak sepenuhnya meninggalkan Balok Lama karena Balok Baru hanya berjarak beberapa kilometer saja.
Tahun 1668, kedatangan kapal Belanda “De Zandloper�, dipimpin oleh Jan de Harde, nampaknya naik ke Balok Lama, dalam risetnya ia menggambarkan tentang situasi dan kondisi kerajaan Balok termasuk adanya rumah balai atau rumah adat.
Beliau seorang pertapa, menganut mistis terkenal dengan julukan raja dukun yang memberikan wewenang kepada para dukun di tiap-tiap kampung atau kubok. Jadi penduduk tidak lagi perlu meminta izin raja jika mau menguasai tanah ladang tapi cukup ke dukun. Beliau mencanangkan Tanah Pusake yang tak boleh diganggu antara lain Tanjung Kelumpang, Hulu Sungai Lenggang, Hulu sungai Kembiri.
Cakraninggrat II, KA Abdullah atau Ki Mending di makamkan di Balok Baru.
Tahun 1696-1700, Depati Cakraninggrat III, KA Ganding atau Ki Gending, menjadi raja Balok ke 3 menggantikan Ki Mending. Sebelum beliau meduduki tahta menggantikan ramondanya, beliau selalu ke Kataram, belajar ilmu pemerintahan kepada sunan Tegalwangi hingga ketika sudah memerintah, beliau membagi kekuasaan kepada 4 wilayah yang pada masa Cakraninggrat I dikuasai langsung oleh raja atau depati Ki Gede Yakob. Ke 4 wilayah ini dinamakan ngabehi (4 wilayah yang namanya berbau hindu seperti Tanah Yuda, Istana Yuda, Krama Yuda, Sura Yuda sudah tidak dipakai lagi)
Pemerintahan wilayah di ngabehi dipimpin oleh orang dekat dengan keluarga raja, ia disebut ngabe atau ngabei yang artinya orang keraton. Ngabehi adalah wilayah setingkat kecamatan antara lain, Ngabehi Buding, Ngabehi Badau, Ngabehi Sijuk, dan Ngabehi Belantu.
Pada masa ini mengikisan ajaran yang berbau Hindu terus gencar dilakukan bersama masuknya ulama-ulama dari Pasai dan seorang anak raja menjadi ulama yang sangat taat keIslamannya yaitu KA Siasip, beliau sudah meninggalkan ajaran kaula gusti yang masih melekat dalam ajaran keluarga di keraton. Sebagai Penghulu Islam, beliau mengajar berbagai sistem dan tatacara adat-istiadat yang disesuaikan dengan ajaran Islam, seperti tatacara pernikahan dan perayaan pernikahannya. Sampai KA Siasip meninggal, beliau tetap dihormati bahkan ada orang mengeramatkan makamnya yang disebut dengan Keramat Sisil, Konon, ada pohon sisil di makamnya, jika dipotong dahannya maka akan tumbuh lagi dalam sekejab. Cakraninggrat III, KA Ganding atau Ki Gending meninggal sewaktu bekunjung ke Jawa dan di makamkan di Pamanukan Jawa Barat.
Tahun 1700-1740. Depati Cakraninggrat IV, KA Bustam atau Ki Galong. Beliau adalah adik dari KA Ganding, beliau menjadi raja karena putra mahkota yaitu KA Siasip tidak berkenan jadi raja, beliau lebih suka menjadi penghulu. Dan KA Siasip adalah kepala penghulu Agama Islam pertama di Belitung.
Pada masa pemerintahan KA Bustam, Beliau mengusir seorang seorang ulama atau seorang guru dari KA Siasip yang bertekad mengIslamkan semua dukun-dukun yang masih menganut ajaran nenek moyangnya. KA Bustam adalah penganut kental ajaran mistis yang diturunkan oleh kakeknya Ki Mending. Pengaruh Ulama Islam begitu mengusik pikiran KA Bustam, ia Khawatir itu akan menjadi ancaman bagi kedudukannya, karena ia menyadari jika tahtanya bukanlah haknya meski sudah diserahkan KA Siasip sepenuhnya.
Tahun 1705 KA Bustam mengangkat seorang ulama dari Mempawah, Datuk Ahmad yang dikenal dengan sebutan Datuk Mempawah untuk menjadi ngabehi di Belantu. Ulama Mempawah ini masih toleran dengan ajaran mistis atau adat perdukunan juga masih menghormati adat kematian seperti acara bilangari.
KA Siasip terus bertekad dengan cara untuk meluruskan ajaran islam sejatinya meski dapat tantangan dari pamannya sendiri. Dan pada waktu itu masuk lagi seorang ulama dari Pasai bernama Syech Abubakar Abdullah, beliau masuk lewat sungai Buding dan berdiam di Ngabehi Buding, di sini beliau mengIslamkan seorang sakti bernama Tuk Kundo.
Namun kemudian Syech Abubakar Abdullah berhasil dibunuh oleh KA Bustam, setelah beradu kesaktian masing-masing. Syech Abubakar Abdullah dimakamkan di Gunung Tajam yang terkenal dengan sebutan Keramat Datuk Gunong Tajam. Mendengar kejadian itu, Datuk Ahmad atau Datuk Mempawah jadi kurang simpati lagi kepada raja yang membunuh ulama hingga beliau khawatir dengan keselamatannya dan kemudian minta perlindungan kepada Sultan Pontianak. Tahun 1641 ketika menuju Pontinak, meninggal di sana dan di makamkan di Mempawah.
Seorang anak laki-laki Datuk Ahmad bernama Tining menikahi perempuan keluarga raja dan Tining diberi gelar Ki Agus. Dan nampaknya KA Tining adalah orang luar pertama yang mendapatkan gelar Ki Agus. Tahun-tahun berikutnya laki-laki yang mengawini perempuan keluarga raja selalu diberi gelar. Misalnya anak KA Munti yang bernama NA Kumal menikahi Saidin. Dan Saidin diberi gelar hingga menjadi KA Saidin. Keturunan mereka kemudian menggunakan gelar KA untuk laki-laki dan perempuan tidak NA tapi sebutan Dayang. Tradisi pemberian gelar dimaksudkan agar kedekatan anggota keluarga menjadi tidak merasa asing.
Cakraninggrat IV KA Bustam dimakamkan di Balok Baru, satu kompleks dengan KA Mending dan KA Siasip.
Tahun 1740-1755, Depati Cakraninggrat V, KA Abudin menggantikan ramondanya KA Bustam. Pada masa pemerintahan KA Abudin Balok mengalami kemunduran. Pemerintahannya kurang mendapat simpati wataknya yang otoriter seperti ramondanya KA Bustam yang keras hingga banyak tak di sukai oleh penduduk juga para pedagang dan pendatang.
Sikap itu membuat adiknya yaitu KA Usman menjauhi istana dan mendirikan pemukiman baru di sungai Cerucuk. Sikap itu pula yang membuat Ngabehi Belantu mesti mengantarkan upeti dan tunduk ke Palembang tidak ke Balok, namun di masa berikutnya sudah menjadi tradisi maka Ngabehi Belantu mengantar upeti ke Mentok karena Palembang oleh Sultan Badarrudin menyerahkan Mentok pada Wan Abduljabar dari Johor sejak tahun 1724.
Sikap masyarakat di kerajaan Balok terpecah menjadi dua hingga mereka yang tidak puas dengan pemerintahan KA Abudin mengadu kepada KA Usman. Karenanya, KA Usman meminta bantuan pada Sultan Palembang, pengaduan ini membuat KA Abudin marah hingga pertentangan tak terhindarkan. Perkelahian tak dapat ditawar, peristiwa ini dikenal dengan sebutan “begaris tanah� tak ada yang kalah dalam peristiwa di tepi sungai Berutak ini. Namun utusan Palembang telah datang menjemput KA Abudin. KA Abudin tidak diperkenankan pulang ke Belitung, ia menikah lagi di Palembang. Keturunan KA Abubin hingga kini tetap menyandang gelar KA atau Ki Agus. Raja ke V ini meninggal di Palembang dan dimakamkan di Pelayang.
Konsekwensi atas bantuan Sultan Palembang kepada KA Usman ini, menyebabkan KA Usman mesti mengirimkan 1000 (seribu) keping besi ke Palembang pada setiap tahunnya.
KA Usman kemudian membagi wilayah kekuasaan kepada anak-anak KA Abudin yang ditinggalkan. Yang tertua KA Rantie tetap mendiami Balok, KA Gunong Kurung berdiam di gunung labu tempat asal neneknya Putri Gunong Labu. KA Munti di beri wilayah di sekitar Gunung Petebu sekarang Parit Tebu (cikal bakal distrik Lenggang, wilayah ini kaya oleh tambang besi di gunung Selumar), dan Nyi Ayu Muncar ikut tinggal ke salah seorang abangnya.
Oleh KA Usman, KA Munti yang kemudian dinikahkan dengan Nyi Ayu Busu yaitu anak dari KA Usman sendiri. Perkawinan antar sepupu ini dimaksudkan agar kedua keluarga yang dulu berseteru kini kembali dekat. Perkawinan itu melahirkan KA Luso, NA Tenga, NA Kumal. KA Luso kemudian menurunkan KA Jalil. Keluarga ini dikenal dengan sebutan bangsawan Gunong Petebu.
Tahun 1755-1785, Depati Cakraninggart VI, KA Usman, pada masa beliau pusat pemerintahan dipindahkan dari hulu sungai Balok ke hulu sungai Cerucuk yang di kenal dengan sebutan Kota Karang . Di saat membuka lahan dan membangun Cerucuk maka mesti membuat dermaga dengan kade-kade di tepian sungai agar kapal dan perahu bisa ditambatkan dengan baik. Pembuatan dermaga ditepian sungai ini memerlukan banyak sekali kayu yang digunakan untuk cerucuk atau penahan pinggiran. Dengan banyaknya kayu cerucuk ini maka sungai ini pun kemudian oleh para pelayar yang berlabuh di situ menyebutnya dengan nama sungai Cerucuk.
Pada masa pengurukan tanah untuk dermaga, bijih timah tanpa sengaja diketemukan di sini. Berita ditemukannya bijih timah ini sampai pula kepada residen Palembang De Herre hingga pada tahun 1759 mendarat dekat Tanjungpandan untuk beberapa jam meneliti tanahnya. Tapi ia kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada bijih timah di sana (koppong erts) timah kopong adalah pasir yang mirip pasir timah tapi tak memiliki kandungan timah. Konon, pengkopongan pasir timah bisa dilakukan oleh para dukun tanah di Belitung.
Pada masa KA Usman bijih timah digali secara tradisional dengan teknologi yang dipelajari dari penduduk Bangka (penduduk Bangka yang sudah dewasa mesti memberikan pajak timah kepada Sultan Palembang yang disebut timah tiban) penggalian bijih timah itu dikenal dengan sebutan sumur palembang.
Meskipun begitu bijih timah ini belum bisa dilebur di Belitung maka mesti dilebur di Singkep dulu baru kemudian diperdagangkan ke Johor dan Malaka. Namun nampaknya bijih timah belum menjadi komoditi utama pada masa ini dibandingkan dengan penggalian bijih besi yang sudah digali sejak lama.
Pada tahun 1784, di muara dekat pulau Kalamoa, berlabuhlah armada perahu delegasi dari Palembang dipimpin oleh Syarbudin hendak menuju Kota Karang. Rombangan armada perahu KA Usman datang menjemput tapi sekonyong muncul pula armada bajak laut dari arah lain yang dipimpin oleh Syaid Ali dari Siak*) maka pertempuran tak terhindarkan, KA Usman tewas dan mayatnya tak diketemukan hingga beliau dikenal dengan sebutan Depati Hilang dilaut. Perairan laut menjadi tidak aman oleh bajak laut.
Sejak kematian KA Usman pengiriman upeti berupa bijih besi ditiadakan hubungan Belitung dengan Palembang terputus, Bangka mengalami hal yang sama apalapi para bajak laut selalu merampok tambang-tambang timah di Bangka, terutama bajak laut dari Lingga yang dipimpin oleh Panglima Raman.
Tahun1785-1815, Depati Cakraninggrat VII KA Hatam memerintah. menggantikan ramondanya KA Usman yang tewas di laut . KA Hatam, mendatangkan para penggali timah dari China di Johor lewat Tumasik. Hubungan dengan orang China ini, menyebabkan KA Hatam mengambil istri kedua seorang China yang kemudian menjadi mukhalaf dengan gelar Dayang Kuning.
Perdagangan timah terus berlanjut secara diam-diam setelah dilebur di Singkep kemudian dibawa ke Johor dan Malaka lewat Tumasik. Seorang akhli pertimahan bernama Tuk Munir dari Singkep didatangkan.
Tahun1786, setelah Inggris menguasai Pulau Pinang dan sekitarnya, perdagangan timah dari Belitung dihentikan oleh Depati sendiri. Palembang mulai dipengaruhi Inggris untuk mengusir Belanda, Inggris memberikan bantuan persenjataan hingga pada 14 September 1811 terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap orang Belanda. Pada tahun 1812 Inggris menguasai Palembang.
Tahun 1813, Inggris oleh Sir Thomas Stamford Raffles memerintahkan Jendral Gillespie menguasai Palembang, terus Mayor W. Robinson meduduki Bangka kemudian mengutus Tengku Akil dari Siak guna menguasai Belitung. Tengku Akil mendapat perlawanan, dalam peretempuran itu Depati KA Hatam tewas dengan kepala terpotong atau terkerat. Anaknya yang masih berusia muda, KA Rahad dan beberapa saudaranya yang lain berhasil diselamatkan sepupunya KA Luso. KA luso dan orang-orang berhasil mengusir Tengku Akil hingga tengku Akil lari ke bersembunyi di Pulau Lepar dan kemudian tahun 1820 Tengku Akil menjadi kaki tangan Belanda di Bangka tapi mendapat perlawanan pula oleh Demang Singa yuda dan Juragan Selan hingga perahu dan pasukannya ditenggelamkan.
*) Berdasarkan Verhandelingen Van Het Bataviaasch Genootschap; Raja yang bertahta pada sekitar tahun 1780 adalah raja Ismail, ia merupakan salah seorang bajak laut terbesar. Sejak dulu Siak adalah kerajaan maritim yang kuat. Satuan-satuan angkatan Siak sering menyerang Johor, Malaka, dan berbagai tempat di pantai barat dan timur semenanjung. Sebagian besar daerah-daerah timur Sumatra dari Langkat sampai Jambi, konon takluk pada Siak. - William Marsen “Sejarah Sumatra� .hal.211. Terjemahan A.S Nasution dan Mahyudin Mendim. PT.Remaja Rodakarya, Bandung, Th. 1999.
Tahun 1821-1854, masa perjuangan dan pemrintahan Depati Cakraninggrat VIII, KA Rahad. Upaya Hindia Belanda untuk menguasi Belitung dan mencari bijih timah.
Setelah KA Hatam meninggal, terjadi ketidak lancaran pemerintahan karena KA Rahad yang masih muda untuk menjadi raja. Para pekerja parit timah di cerucuk mengungsi dengan membuka pemukiman baru di tepi Sungai Seburik.
Pada 20 pebruari 1817 Palembang diserahkan kembali oleh Inggris ke Belanda. Kemudian pada 21 Oktober 1821, datanglah Syarif Mohamad dari Palembang guna membuka jalan bagi masuknya Belanda ke Belitung dan mengibarkan untuk pertama kali bendera Belanda di Tanjung Simba. Syarif Mohamad mencoba untuk menguasai kedudukan Depati KA Rahad yang masih berusia muda, tapi upaya itu tak berhasil.
Tahun 1822, Kapten bangsa Belgia, J.P. de la Motte datang dengan pasukannya, mendarat di Tanjung Gunung, namun ia dapat diusir oleh KA Rahad hingga bergabung dengan Syarif Muhamad di Tanjung Simba.
KA Rahad dan orang-orang mendirikan benteng di Tanjung Gunung karena benteng Kute di Cerucuk terlalu jauh untuk berhadapan dengan orang asing yang masuk ke Belitung lewat muara sungai cerucuk.
Kekhawatiran J,P. De la Motte cukup beralasan untuk menghadapi KA Rahad di Tanjung Gunung maka dengan bantuan orang-orang China di Seburik, ia membangun Benteng di Tanjung Simba (Belakang Museum Tanjungpandan)
Tahun 1823, J.P. de la Motte meninggalkan Belitung karena usahanya untuk menemukan bijih timah gagal dan ia digantikan oleh J.W. Bierschel yang dikawal oleh Kapten Kuehn.
J.W. Bierschel menjadi asisten resident pertama dari resident yang ada di Mentok Bangka. J.W. Bierschel dalam kepentingannya mencari bijih timah. Pegawai Hindia Belanda ini cukup lunak dan bijaksana dalam menghadapi KA Rahad dan orang-orangnya. Ia bahkan mengusulkan agar hak-hak KA Rahad diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sikap Lunak ini membuat KA Rahad memberikan kesempatan untuk tinggal di Benteng Tanjung Gunung. Dan KA Rahad kemudian membangun rumah kediaman barunya (menurut manuskrip KA Abdul Hamid tahun 1934, istana KA Rahad antara Palmenlaan dan Heerenstraat) di situlah Depati KA Rahad mulai mengendalikan pemerintahannya, nampaknya ini awal berdirinya kota Tanjungpandan.
Sikap akomodatif dari asisten resident J.W. Bierschel terhadap KA Rahad, membuat Syarif Muhamad merasa tidak senang karena seolah mengacuhkan dirinya yang sebelumnya telah dipercayakan untuk menguasai Belitung dan Syarif Muhamad pun pulang pada tahun 1824 dan mengadukan tindak-tanduk J.W. Bierscel kepada resident di Mentok hingga tahun 1826, J.W. Biercshel ditarik pulang. Sebenarnya bukan alasan itu ia ditarik pulang tapi karena untuk penghematan anggaran saja karena pencarian timah oleh J.W. Bierschel gagal disebabkan Depati Rahad menolak untuk melakukan penggalian-penggalian. KA Rahad takkan memberikan kesempatan penggalian timah sebelum hak-hak kekuasaannya diakui oleh Belanda.
Resident menerima laporan jika tidak ada timah di Belitung, tapi Syarif Muhamad mengetahui jika Depati KA Rahad tak memberikan kesempatan penggalian. Maka pada tahun itu juga 1826, Syarif Muhamad dengan pasukannya datang lagi ke Belitung, tapi ia dapat di halau hingga kembali ke Bangka tapi kemudian ia berhasil dibunuh hingga tewas di Mentok
Belitung kembali kosong dari kaki tangan Belanda tapi bendera Belanda di Tanjung Simba mesti tetap tegak. Karena itu, untuk menggantikan kekosongan maka Belitung diserahkan oleh Belanda kepada Syarif Hassim dari Lingga. Namun Syarif Hassim tak berumur panjang, ia tewas pula dan dimakamkam di sebelah penjara TanjungPandan.
Tahun 1830, Belanda di Palembang melihat ketidakmampuan resident Mentok untuk mengendalikan Belitung dibawah Depati KA Rahad. Maka Belanda mengutus Syarif Hasan, tapi pada tahun 1835. Syarif Hasan melarikan diri dan melaporkan semua kegagalan upayanya untuk menundukkan Depati KA Rahad. Untuk keberapa kalinya resident Belanda di Mentok kewalahan tapi Belitung tetap dibawah tangungjawabnya, karenanya tahun 1837 oleh Belanda, Belitung dipercayakan kepada Mas Agus Mohamad Asik dari Pulau Lepar. Tapi ia juga hanya bisa bertahan sampai awal tahun 1838.
Mas Agus Mohamad Asik, sesungguhnya tidak mengadakan perlawanan terhadap Depati KA Rahad. Tapi ia tidak disukai di Belitung karena ia adalah keturunan bajak laut, rupanya dendam terbunuhnya Deptai KA Usman oleh para bajak laut masih diingat oleh kelurga depati. Bukan saja itu pada masa itu juga, pemerintah pusat Belanda di Batavia, memberikan tugas khusus kepada J.J Roy seorang Prancis, guna membasmi bajak laut yang berada di perairan Belitung. J.J. Roy kemudian mengetahui jika Palembang lewat Adipati atau menteri utamanya terang-terangan melindungi para bajak laut. Atas jasa inilah J.J Roy menjadi resident sementara di Pelembang.
Pada tahun itu juga sebelum bulan Juli. Belanda mengirim tim ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel P.C. Riedel, guna menyelidiki dan mencari tahu tentang sikap Depati yang tak dapat ditundukkan oleh sekian orang pemimpin baik Belanda atau pun pribumi sendiri. Namun KA Rahad tidak mau bertemu dengan Kolonel P.C. Riedel. Namun ia nampaknya sudah cukup mendapat keterangan dari beberapa pihak atas keinginan KA Rahad. Maka P.C. Riedel juga mendengar anjuran Residen Bangka de Haase serta mantan asistent residen Belitung J.W. Bierschel, agar mengakui hak-hak KA Rahad sebagai Depati Belitung maka 1 Juli 1838, KA Rahad diakui Belanda sebagai Depati Belitung.
Setelah KA Rahad diberi keleluasaan memegang pemerintahan, beliau membagi wilayah Belitung menjadi 6 distrik yang sebelumnya baru ada 4 ngabehi. Agaknya KA Rahad mulai menggunakan istilah distrik untuk mengganti istilah ngabehi karena Belanda mulai mendata wilayah itu dengan menulis dan menyebutkan kata distrik untuk wilayah Ngabehi. 2 distrik baru itu adalah Tanjungpandan dan Lenggang. Kedua distrik ini tidak dipimpin oleh ngabei tapi langsung oleh keluarga raja, Disrik Tanjungpandan dipimpin oleh KA Mohamad Saleh, sedangkan Distrik Lenggang oleh KA Luso karena wilayah Lenggang sudah diwariskan oleh Depati Cakraninggrat VI KA Usman kepada KA Munti, ramonda KA Luso.
Tahun 1850 Dr. J.H. Croockewit diutus oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan lagi penyelidikan adanya kemungkinan bijih timah di Belitung, namun sekali lagi ia gagal dan tidak mendapat bantuan dari Depati Rahad ataupun dari rakyat. Pada 28 juni 1851. Para eksplorer timah berangkat dari Mentok dengan membawa surat resmi kepada Depati KA Rahad. Mereka adalah, J.F. Loudon, Van Tuyll, Corns de Groot, dan Den Dekker. Nampaknya Depati KA Rahad masih tetap mengatakan jika bijih timah tidak ada di Belitung, namun tentu saja para ekplorer ini tidak puas dan mengatakan jika misi mereka tidak berhasil maka akan ada misi berikutnya yang akan datang sampai timah ditemukan.
Den Dekker terus mencari tahu dari penduduk dan ia mendapat keterangan jika ada seorang melayu yang akan menunjukkan adanya timah di Beltiung, orang itu dulunya pekerja parit timah pada KA Hatam di Cerucuk, Tuk Munir dari Singkep. Tuk Munir lah yang menunjukkan adanya timah di dekat sungai Seburik.
Maka terbukalah rahasia yang selama ini dijaga oleh Depati KA Rahad. Dan KA Rahad tak dapat menghindar lagi kemudian memerintahkah kepada orang-orangnya untuk menunjukkan di mana saja ada terdapat bijih timah. Sejak itu terjadilah kerjasama pencarian bijih timah ke seluruh penjuru pulau Belitung dilakukan dengan didampingi oleh KA Luso dan KA Jalil sebagai mewakili Depati.
Para Pencari bijih timah yang dapat bekerjasama dengan baik pada keluarga depati, dan penggalian-penggalian mulai dilakukan. Kandungan timah di Belitung begitu banyak sehingga resident Bangka mulai menunjukkan gelagat untuk mengatur Belitung.
Tahun 1852 Atas desakan J.F. Loudon, Belitung memisahkan diri dari keresidenan Bangka dan bertanggungjawab langsung ke Batavia. Ini merupakan satu-satunya asistent residen di Hindia Belanda yang tidak menjadi bawahan resident.
Tahun 1854 Depati KA Rahad meninggal dunia, di makamkan di Air Labu Kembiri.
Tahun 1856-1873, Depati Cakraninggrat IX, KA Mohamad Saleh alias KA Saleh, menggantikan abangnya KA Rahad karena tidak menurunkan putra mahkota. Naiknya KA Saleh maka posisi kepala distrik Tanjungpandan dipegang oleh KA Jalil.
Tahun 1856, orang-orang China mulai didatangkan secara berkala untuk menjadi pekerja parit timah di Belitung.
Tahun 1860, 15 November, perusahaan penambangan timah berdiri dengan nama Billiton Maatschappy. Depati KA Mohamad memiliki saham atas parit timah di Bengkuang. Parit Bengkuang ini merupakan cikalbakal lahirnya Kota Manggar.
Tahun 1864, ekploitasi timah mulai diusahakan hampir di seluruh Belitung, pada masa ini jalan raya yang menghubungkan ke semua distrik dibangun dibawah pengawasan KA Jalil. Pembangunan jalan ini menghabiskan waktu 8 tahun dengan janji oleh Belanda bahwa usai pembangunan jalan, penduduk Belitung akan disejahterakan.
Tahun 1866, Billiton Maatschappy masih terus mendatang pekerja dari China hingga berjumlah 2724 orang. Banyaknya orang China ini maka oleh Belanda perlu pengawasan oleh komunitas mereka sendiri. Di Wilayah Tanjungpandan dipimpin oleh Kapten Ho A Jun dan di Manggar di pimpin oleh seorang Letnan China serta di beberapa wilayah penambangan yang disebut dengan “wijkmeester� . J.F Loudon juga mempekerjakan seorang jurutulis China Phang Tjong Tjun.
Tahun 1870, di tepi Sungai Seburik dibangun dermaga tempat tambat kapal, juga dibukanya sekolah untuk orang Tionghoa.
Tahun 1870-1875, penduduk diharuskan menanam pohon kelapa.
Tahun 1870, mesjid Jami’ Tanjungpandan dibangun.
Tahun 1871, didirikan gedung sositet di Tanjungpandan
Tahun 1872, 12 Oktober, jalan raya di seluruh Belitung selesai dibangun dibawah pengawasan KA Jalil.
Tahun 1873, KA Saleh sudah uzur, mengundurkan diri jadi depati. Pada tahun ini juga Pangkat Depati dihapuskan oleh Belanda. Dan semua tugas pemerintahan dialihkan kepada KA Jalil.
Tahun 1874, KA Jalil menagih janji pada Belanda tentang kesejahteraan rakyat Belitung maka sekolah rakyat pertama dibangun, dengan dua kelas di Tanjungpandan.
Tahun 1876, KA Saleh meninggal dunia dan tak menurunkan putra mahkota, beliua dimakamkan dekat makam ramondanya KA Rahad di Cerucuk
Tahun 1879, sekolah rakyat dibangun di Manggar sebanyak dua kelas.
Tahun 1879-1890, Depati Kepala Distrik Belitong, KA Endek.
Setelah KA Saleh meninggal dan pemerintahan digantikan oleh KA Jalil, tapi kemudian Pemerintah Hindia Belanda sekonyong-konyong mengeluarkan surat keputusan dengan Belsuit GG tgl 17 Januari 1879 No. 9, untuk mengangkat KA Endek menjadi Depati Kepala Distrik Belitong. Keputusan ini membuat ketidak senangan dari KA Jalil karena setelah Depati KA Saleh berhenti dari jabatan depati, Belanda telah menyerahkan pemerintahan kepada dirinya.
Alasan pengangkatan KA Endek jelas sekali karena karir KA Endek seorang administratur jika dibandingkan dengan KA Jalil yang menurut Belanda hanya cakap secara adat untuk menguasai rakyatnya. Karena itu, secara adat para ngabehi di tiap distrik hanya setia pada KA Jalil hingga beliau meninggal tahun 1887, dan dimakamkan di pekuburan Nunuk Tanjungpandan.
Karir KA Endek yang bekerja pada instansi Belanda dimulai menjadi kepala polisi dengan Belsuit GG tgl 19 Agustus 1854 No.2. kemudian menjadi Hoofd Jaksa dengan Belsuit GG tgl 26 Agustus 1867 No 5. Dengan memakai kekuasaan KA Endek yang menjadi depati kepala kepala distrik, Belanda menerapkan pajak kepada rakyat Belitung yaitu, Pajak kepala, Heerendienst dan Gardoedienst. Pajak itu mulai berlaku tahun 1881. Dengan bertambahnya pendapatan rakyat maka dikenakan pula macam-macam cukai seperti Pachter, Candu, Arak, Babi, Perjudian, dan lain-lainnya.
Pada tahun 1890, KA Endek diberhentikan dengan Belsuit GG 5 April 1890 No.6 dan atas jasanya ia diberi lencana emas kecil yang bertuliskan “Ngabehi KA Endek� setahun kemudian beliau berangkat ke Tanah Suci Mekkah dan meninggal dunia di sana.
Karena kedudukan dan pangkat depati dihapuskan Belanda maka untuk menjaga hubungan baik antara pemerintahan Belanda dengan keluarga raja maka semua kepala distrik diangkat dari keluarga Depati Cakraninggrat, akibatnya beberapa distrik yang sebelumnya dipimpin oleh turunan ngabehi dihapus kekuasaannya oleh Belanda.
Pada Tahun 1890, distrik Sijuk dan Belantu dihapuskan menjadi kelurahan. Namun Distrik baru pun dimunculkan oleh Belanda yaitu Manggar dan Dendang. Distrik yang dipertahankan adalah Buding, Badau, Lenggang, dan Tanjungpandan, semua kepala distrik ini digaji oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pada Tahun 1892, Sebutan “Ngabehi� sebagai kepala distrik dihapuskan oleh Belanda maka mulai saat itu hanya dikenal kepala distrik saja meski pun begitu, sebutan untuk Ngabehi kepada kepala distrik secara adat tetap dipakai oleh rakyat, namun kemudian redup ditelan zaman.
Tahun 1896, di Manggar dibangun gereja katolik kecil di Samak.
Tahun 1898, moderninasi alat-alat perusahaan timah, adanya lokomobil, serta hubungan telpon.Tahun 1903, adanya pesawat telegram untuk berhubungan dengan Pulau Jawa. Tahun 1905, Distrik Kelapakampit muncul dan penduduk pribumi Belitung menjadi 39.483 sedangkan peduduk China berjumlah 22.670 karena itu dibutuhkan sekali untuk menempatkan seorang “Civil Gezaghebber� di Manggar sebagai pembantu asisten resident.
Tahun 1908, didatangkan mobil pertama ke Belitung.
Tahun 1909, pembangkit listrik dibangun di Manggar (EC)
Tahun 1914-1918 pembukaan sekolah rakyat di Sijuk, Dendang, Lenggang, serta di Tanjungpandan dibuka H.I.S (Hollandsch Indonesische School)
Tahun 1915, pencanangan hutan cadangan, adanya pelarangan penebangan kayu di hutan lindung.
Tahun 1915, pasar Manggar terbakar seluruhnya.
Tahun 1917, pembangunan gedung sandiwara di Tanjungpandan, gedung ini kemudian menjadi bioskop Garuda, kini pasar swalayan Puncak.
Tahun 1921, harga timah merosot setelah berakhirnya perang Dunia I, maka Hindia Belanda mengadakan penghematan besar-besaran terhadap anggarannya
Tahun 1921, Demang pertama KA Abdul Adjis. Tepatnya tanggal 28 Juni 1921 asistent resident ALM Clignett, menjadikan Belitung Rechte Gemeencshap Billiton, berkedudukan di Tanjungpandan dan dipimpin oleh seorang Demang, serta asistent demang yang berkedudukan di Manggar dan Dendang. Ini bagian dari penghematan anggaran pemerintah Hindia Belanda sesudah perang dunia I.
Tahun 1924, tanggal 9 September. Billiton Maatschappy diubah menjadi NV GMB atau NV. Gemeenscha Pelyke Mynbouw Maatschappy Billiton.
Tahun 1926, Raad Van Beheer NV GMB mendirikan Dana Kesejahteraan Rakyat Belitung (Bevolkingsfonds Billiton) guna mengenang 75 tahun berdirinya Maatschappy Billiton. Dana tersebut digunakan untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Belitung maka didirikan Jawatan kesehatan Rakyat, kemudian Sekolah pertukangan (Ambaschtscursus) di Manggar.
Tahun 1927, asistent resident mengadakan sekolah desa pertama.
Tahun 1929, diusahakan untuk membuat perkebunan lada.
Tahun 1930-an Belitung tekena juga dampak krisis dunia, pertambangan timah banyak ditutup dan para pekerja diberhentikan, termasuk pertambangan bijih besi dan tembaga di Gunung Selumar.
Tahun 1933, 1 Maret, Belitung menjadi Onderafdeling dari dari Keresidenan Bangka, sejak terpisah tahun 1852 karena tahun 1852 asistent resident Belitung langsung bertanggungjawab ke Batavia. Tahun itu juga kedudukan dan pangkat “Civil Gezaghebber� di Manggar ditiadakan.
Tahun 1935, Belitung dibagi menjadi dua distrik, Belitung Barat dan Belitung Timur masing-masing dikepalai seorang Demang.
Tahun 1935, Demang membuat kebijakan membuka percobaan perkebunan, singkong, kacang, jagung, dan pepaya yang bibitnya didatangkan dari jawa.
Tahun 1936, Demang pula membuat kebijakan pembukaan sawah di Perpat, Mentigi, tapi mengalami kegagalan.
Belitung menerima dampak perang dunia II dan harga timah melonjak
Tahun 1940, Jerman menduduki negeri Belanda maka Hindia Belanda mesti membuat kebijakan sendiri.
Tahun 1941, Hindia Belanda menyatakan perang kepada Jepang.
Tahun 1942, 28 Februari, Jepang melakukan serangan udara terhadap Belitung. Ini menimbulkan kepanikan luar biasa, sekolah ditutup, orang-orang kota bersembunyi ke hutan dan kampung-kampung. Orang Eropa dievakusi ke Jawa, dua buah kapal yang membawa mereka ditenggelamkan.
Tahun 1942, 10 April, Jepang masuk ke Belitung, pegawai NV GMB di internir. Demang KA. Moh.Yusup ditunjuk Jepang sebagai Pengganti asistent residen untuk waktu tiga bulan dan bertanggung jawab kepada komandan militer.
Tahun 1943, Januari, sekolah-sekolah dibuka lagi, upaya mendatang bahan makanan untuk rakyat. Perbaikan besar-besaran terjadi termasuk pembukaan tambang-tambang timah. NV GMB dirubah menjadi MKK yaitu “Mitsubishi Kogyoka Kaisha�. Tambang terowongan di Gunung Selumar dibuka lagi khusus untuk menggali bijih besi dan tembaga.
Tahun 1943, peladangan padi dibangun Jepang di Perpat selama 6 bulan dan menghasilkan 800 ton padi ladang.
Tahun 1943, Jepang membuka pelabuhan bebas, Belitung berkembang pesat dan ramai, dibuka sekolah pertukangan perahu di Manggar. Dan perahu-perahu 50 ton ke atas dibangun.
Tahun 1943, Pelabuhan udara di Buluh Tumbang dibangun untuk kepentingan militer, sampai akhir perang dunia II sarana itu belum selesai.
Tahun 1945, Jepang membentuk Badan Kebhaktian Rakyat yang bertugas membantu pemerintahan jepang, badan ini dibubarkan usai perang.
Tahun 1945, 6 September, pejabat kepala daerah mendapat surat kawat dari resident Bangka, berisi tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan perintah untuk membentuk Komite Nasional Indonesia yang bertugas mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang, namun Jepang meninggalkan Belitung sudah pada bulan Agustus. Komite belum terbentuk
Tahun 1945, KA Moh. Yusup pulang dari Bangka bersama dengan R.M Joedono, mengambil alih pimpinan pemerintahan dan segera mengadakan rapat-rapat dengan pemuka rakyat, juga tiga orang utusan Resident Bangka untuk segera membentuk Komite Nasional Indonesia.
Tahun 1954, 18 Oktober, dengan pesawat terbang, 3 orang mantan pegawai GMB mendarat di Tanjungpandan dan langsung menuju kantor pemerintahan daerah yang saat itu sedang diadakan pembentukan Komite Nasinal Indonesia, pada hari itu komite terbentuk.
Tahun 1954, 21 Oktober, Belitung diduduki tentara Belanda yang membonceng tentara sekutu. Perintah resident Bangka untuk menyambut mereka dengan baik, tapi masyarakat melakukan perlawan pasif. Ada rencana melakukan perlawanan aktif yang diatur oleh R Margono, dia mantan polisi.
Tahun 1945, 24-25 Nopember pasukan rakyat dari Sijok, Aik Selumar, Aik seruk, bergerak ke pusat kota TanjungPandan untuk menyerbu tentara Belanda, perlawanan tak seimbang menghadapi senjata moderen Belanda hingga ada yang gugur dan penyerbuan itu pun mundur. Atas perlawan ini beberapa pemimpin rakyak ditangkapi oleh Belanda.
Tahun 1945, 14-19 Desember, perlawanan terhadap tentara Belanda yang dipimpin oleh FFJ. Manusama terjadi di Pulau Mendanau, guna menghadang pendaratan tentara Belanda yang menggunakan kapal perang “Admiraal Trom�
Tahun 1946, Belanda membentuk “Dewan Belitung Sementara� diketuai kepala pemerintahan Belanda.
Tahun 1947, Desember, Dewan Belitung Sementara menjadi Dewan Belitung yang beranggotan 18 orang, diketuai oleh KA Moh.Yusup. Sejak itu Belitung menjadi otonom yang langsung berada dibawah pemerintah pusat Jakarta.
Tahun 1947, selama 4 bulan pegawai GMB mengadakan pemogokan untuk memprotes pendudukan tentara Belanda di Belitung. Karena aksi ini maka GMB mengadakan perubahan kebijakan terhadap pegawainya dengan memberikan berbagai insentif. Selanjutnya melakukan modernisasi terhadap alat-alat produksinya.
Tahun 1948, Januari, Dewan Belitung bergabung dengan Dewan Bangka dan Dewan Riau, menjadi satu Negara Federasi BABERI (Bangka Belitung Riau) yang disyahkan pada 23 Januari 1948. Sebagai Negara Federal Bangka Belitung dan Republik Inonesia Serikat (RIS) mengirim utusan dalam KMB (Konprensi Meja Bundar di Den haag Belanda, tahun 1949) mewakili Bangka oleh Saleh Acmad dan Dr, Liem Chai Lie dan mewakili Belitung KA Moh. Yusup.
Tahun 1950, 4 April, Dewan Belitung dibubarkan bersamaan bubarnya Negara Federal dan Belitung bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tahun 1950, 21 April, Perdana Menteri Dr. Halim bersama dengan Gubernur sumatera Selatan Dr. M. Isa berkunjung ke Bangka. Dan Bangka Belitung diserahkan kepada gubernur Sumatera Selatan untuk menjadi bagian Provinsi Sumatera Selatan. Keputusan itu baru tertuang dalam Undang-Undang Darurat No. 3. Tahun 1956.
Tahun 1950, 27 April, Presiden Soekarno mengunjungi Belitung.
Tahun 1968, 29 September, di Hotel Tanjung Kelayang diadakan rapat, dihadiri utusan Kabupaten Bangka, Kodya Pangkalpinang, Kabupaten Belitung, guna persiapan Pembentukan Provinsi Bangka Belitung, memisahkankan diri dari Provinsi Sumatera Selatan, munculnya Deklarasi Tanjung Kelayang.
Written By :
Ian Sancin di Begalor.com
Direktur Bidang Lintas Sosial Budaya Sapir Institute
Download Feature Menguak Sejarah Di Pulau Belitung (Belitong / Biliton)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar